Pandemi Picu Risiko Balita Stunting dan Malnutrisi

  • Bagikan

JAKARTA – Dampak pandemi Covid-19 meluas ke berbagai sektor termasuk dalam hal pemenuhan gizi anak. Dalam Hari Gizi Nasional setiap 25 Januari, isu stunting dan balita kurang gizi atau malnutrisi semakin disorot di tengah pandemi.

Meski begitu, tren prevalensi balita stunting nasional untungnya menunjukkan penurunan sejak 2019 (27,7 persen), 2020 (26,9 persen), dan 2021 (24,4 persen). Promosi kesehatan harus terus ditingkatkan untuk ibu hamil dan orang tua terkait Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA), seperti melakukan inisiasi menyusu dini (IMD), ASI eksklusif 6 bulan, MPASI setelah 6 bulan, dan ASI sampai 2 tahun atau lebih. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemenuhan hak gizi pada anak, serta mendukung upaya pemerintah untuk percepatan penurunan stunting.

Dalam Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia 2021, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi provinsi dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia (31,4 persen), disusul Sulawesi Barat (33,8 persen), dan Aceh (33,2 persen). Dalam kampanye Save the Children Indonesia bekerja sama dengan Sentra Laktasi Indonesia (SELASI) sejak Agustus 2020–November 2021 melakukan telekonseling atau konseling jarak jauh dan kunjungan rumah terkait menyusui dan PMBA. Dari laporan akhir, terdapat 534 ibu yang mendapatkan telekonseling.

“Selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia, para orang tua menghadapi tantangan kehilangan pekerjaan yang berdampak pada kondisi keluarga, termasuk pemenuhan gizi. Tentu harus tetap memprioritaskan pemenuhan hak kesehatan dan gizi anak,” kata CEO Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung, dalam keterangan resmi, Selasa 25 Januari 2022.

“Saat pandemi, kami harus berganti strategi untuk menentukan komunikasi yang efektif agar tetap bisa menjangkau orang tua untuk melakukan promosi kesehatan. Melalui telekonseling, kami memberikan dukungan dan menyediakan informasi yang dibutuhkan ibu selama menyusui dan PMBA,” tambah Selina.

Lebih dari 30 konselor memberikan telekonseling pada ibu-ibu menyusui. Lokasi intervensi telekonseling meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Para konselor menggunakan audio visual (video call) dengan ibu-ibu menyusui guna memberikan pemaparan yang komprehensif dan dapat mendukung praktik PMBA secara optimal. Durasi waktu yang dibutuhkan sekitar 30-60 menit per dua minggu.

Menurutnya menyusui itu tugas bersama kedua orang tua, tidak hanya ibu, tetapi juga ayah harus ikut berperan dan berkontribusi. “Meski intervensi telekonseling ini berfokus kepada ibu menyusui, kami juga tetap mendorong ayah untuk memberikan dukungan dalam pengasuhan,” tutur Selina.

Dari laporan akhir telekonseling ini, 64,3 persen ibu merasa puas dengan telekonseling menyusui dan PMBA oleh konselor. Keberhasilan telekonseling menyusui dan PMBA diungkapkan oleh Ningsih.

“Walaupun sebagai ibu yang bekerja, saya masih pumping terus, sudah enggak susu formula lagi,” tutup Ningsih. (jpg)

  • Bagikan