Menemukan Mandar Mala’bi’

  • Bagikan

DUA pekan lalu, 8 Januari 2022, saya hadir sebagai salah satu narasumber dalam dialog awal tahun dengan tema “Reinventing Mandar Mala’bi’.

OLEH: Usman Suhuriah
– Wakil Ketua DPRD Sulbar
– Fraksi Golkar

Dihadiri narasumber lainnya diantaranya Prof. Wasilah Sahabuddin (Ketua STAIN Majene), Dr. Muhammad Zain (Direktur GTK Madrasah Kemenag RI/Direktur Zain Office), Dr. Syarkawi Rauf (Komut PTPN IX/Ketua KPPU 2015-2918), Dr. Muhammad Idris (Sekprov Sulbar) dan Muhammad Ridwan Alimuddin (budayawan, jurnalis, fotografer) yang dipandu Utsan (Co-Founder Zain Office).

Kegiatannya berlangsung di kampus STAIN Majene, dihadiri peserta dari berbagai latar belakang secara langsung juga lewat online.

Terdapat hal menarik dari tema yang dibahas. Tapi hal menarik adalah karena tema mala’bi’ (atau yang biasa ditulis malaqbiq) dilekatkan dengan kata “reinventing”. Bila diartikan, sama dengan “menemukan kembali”. Persisnya, reinventing Mandar Mala’bi’ sama dengan menemukan kembali Mandar Mala’bi’.

Sekadar menyederhanakan tema ini, maka melekatkan kata “reinventing” menyiratkan suasana mala’bi’ pernah hidup di masanya. Tetapi mungkin dalam perjalanannya meredup, tergerus, atau nyaris secara kolektif tak ditemukan lagi saat ini.

Mungkin pernah hidup sebagai penghayatan bersama masyarakatnya. Pernah sebagai pemahaman bersama, sehingga tumpuan segala harapan dipatrikan pada nilai mala’bi’ (mala’bi’ paunna, sikapnya, agamanya, kampungnya, dan seterusnya).

Memilih tema mala’bi’ dan selanjutnya dibicarakan dalam beberapa persfektif, tentu pula semakin menarik bila dihadapkan dengan pertanyaan; sebagai nilai, apakah memungkinkan untuk ditemukan kembali hari ini dan untuk diproyeksikan ke masa depan. Apa strategi yang dipilih, siapa aktor yang bekerja untuk ini, dan bagaimana ia dikomunikasikan agar mendapatkan respon positif dari semua kalangan.

Rentetan pertanyaan ini menjadi relevan dalam upaya menemukan kembali nilai ini. Bukan sekadar bertujuan melacak fakta kesejarahannya, tapi bagaimana nilai tersebut teraktualisasi dalam kehidupan masyarakatnya. Sehingga butuh perumusan pemikiran melalui pilihan strateginya.

Dalam berbagai literatur menyebutkan, nilai kebudayaan umumnya –sebagaimana mala’bi’ ini, — dilihat sebagai puncak pengetahuan. Merupakan kulminasi kesadaran. Karena itu merupakan karya kreatif yang berbeda dengan fakta sejarah lainnya.

Sebagai nilai, adalah cita untuk melahirkan kesadaran moral universal, tentang bagaimana suatu komunitas menempatkan harapan kebaikan sebagai visi keberhasilan bersama. Karenanya, khasanah untuk membentuk situasi serta perilaku sosial masyarakat agar berakhir mala’bi’ dipertemukan oleh dua harapan; yaitu harapan mala’bi’ sebagai cita kebaikan, dan sebagai pandangan yang bersifat moral.

Sebagai cita kebaikan tentu tidak sulit mendapatkan respon bersama. Sebab tak ada satu pun individu, kalangan, maupun komunitas akan menolak ajakan kebaikan. Sementara sebagai kreasi dari kesadaran moral merupakan wujud dari kesadaran universal pada hal lain. Hal universal bersifat ajek (abadi) serta fleksibel untuk dikembangkan terus menerus hari ini dan ke masa depan.

Merumuskan strategi untuk kembali menemukan Mandar Mala’bi’, tentu bukan hal tak mungkin. Meski membutuhkan kemauan kuat agar nilai-nilai mala’bi’ ini memasuki kerja aktualisasinya. Rumusan strateginya bisa ditempuh dengan pendekatan struktural, kultural, atau mengkombinasikan keduanya.

Pendekatan kultural adalah dengan mengikuti kultur baru, yaitu memanfaatkan nilai tersebut sebagai pilihan dengan menjadikan ia sebagai wacana dan literasi bersifat masif pada semua kalangan.

Hingga mencapai puncak kesepakatan ke dalam komunikasi kebudayaan, komunikasi politik, pendidikan, ekonomi dan sosial. Perkuatan wacana serta literasinya digerakan hingga menciptakan pembiasaan untuk akhirnya menjadi pengetahuan bersama.

Pendekatan struktur adalah membawa nilai ini ke instrumen formal. Seperti ke struktur pemerintahan di daerah, perguruan tinggi, lembaga formal lain untuk dijadikan sebagai pengukuran bahkan bila mungkin dijadikan sebagai etika kerja (code of conduct) dalam menilai kinerja oleh yang bekerja dalam perangkat struktural.

Akhirnya, nilai Mala’bi’ dalam usaha menemukannya kembali menjadi mungkin diwujudkan bila terdapat upaya serius para pihak untuk mereaktualisasikan kembali nilai Mala’bi’ ini. Untuk mulai menyadari bahwa nilai Mala’bi’ ini memang hanya akan berada di tong sejarah. Hanya wacana keagungan saja, sekedar instiusi kerinduan semata. Itu bila strategi untuk menghidupkannya kembali tak berhasil ditemukan. Wassalam! (***)

  • Bagikan