Gelombang Ketiga Covid-19 di Indonesia tak Terelakkan

  • Bagikan

JAKARTA – Gelombang ketiga kasus Covid-19 berpotensi terjadi di Indonesia. Perkiraan terjadinya gelombang ketiga itu disampaikan epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman.

Dia menyebut potensi gelombang tiga Covid-19 di Indonesia sangat jelas. Artinya, ada kelompok masyarakat atau populasi yang belum memiliki imunitas. Atau meskipun sudah memiliki imunitas, namun imunitasnya menurun. Sebab, berdasarkan kajian, imunitas yang didapat dari vaksinasi Covid-19 terbukti menurun setelah lima bulan usai vaksinasi lengkap.

“Tidak ada yang bertahan lama. Itu faktanya. Karena itulah potensi adanya lonjakan kasus yang disebabkan Omicron sudah sangat jelas. Apalagi, kecepatan infeksinya lebih cepat dibandingkan Delta,” kata Dicky Budiman, Minggu 23 Januari 2022.

Untuk merespons varian Omicron, pemerintah tidak boleh abai terhadap aspek pengujian dan pelacakan. “Tanpa adanya deteksi dini yang kuat, tidak akan bisa untuk memutus transmisi. Tentu memutus transmisi dengan menemukan kasus-kasus infeksi dan kasus-kasus kontaknya. Sehingga mereka bisa menjalani isolasi atau karantina yang efektif,” tukas Dicky.

Selain itu, upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan pelaksanaan 5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas).

Varian Omicron, lanjutnya, tidak bisa dianggap remeh. Karena masuk dalam variant of concern (VOC). “Jadi, segala narasi meremehkan itu berbahaya. Omicron terlihat ringan karena adanya vaksinasi dan imunitas,” jelasnya.

Hal senada disampaikan epidemiolog dari Universitas Andalas, Defriman Djafri. Dia meminta pemerintah memasifkan skrining, pengujian, pelacakan, dan analisis whole genome sequence (WGS). Tujuanya menekan penyebaran varian Omicron di dalam negeri.

“Strategi ini memastikan untuk dapat mengidentifikasi secara cepat, dan kasus-kasus yang teridentifikasi harus dikarantina secara ketat. Sebab ini mempertimbangkan penularan Omicron yang lebih cepat dari varian lainnya,” terang Defriman.

Omicron yang masuk VOC memerlukan kewaspadaan tinggi dalam penanganannya. “Semuanya unpredictable. Jangan kebijakan seolah-olah serba mendesak dikarenakan kita tidak cepat mendeteksi dan waspada secara dini,” pungkasnya.

Terpisah, lima organisasi profesi medis meminta pemerintah untuk mengevaluasi proses pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen pada kelompok usia kurang dari 11 tahun. Ini seiring meningkatnya jumlah pasien tertular varian Omicron di Indonesia.

Permintaan ini ditujukan kepada empat Kementerian. Yakni Kemendikbudristek, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Dalam Negeri.

Hal ini berdasarkan sejumlah pertimbangan. Diantaranya, kepatuhan anak-anak usia 11 tahun ke bawah terhadap protokol kesehatan masih belum 100 persen. Selain itu, belum lengkapnya vaksinasi anak-anak usia kurang dari 11 tahun.

“Laporan dari beberapa negara, proporsi anak yang dirawat akibat infeksi Covid-19 varian Omicron lebih banyak dibandingkan varian-varian sebelumnya,” kata Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto.

Apalagi, telah dilaporkan adanya transmisi lokal varian Omicron di Indonesia. Bahkan, sudah ada kasus meninggal karena Omicron.

“Kami berharap pemerintah dan kementerian terkait sebagai pembuat kebijakan dapat mempertimbangkan ini. Tujuannya demi melindungi kesehatan dan keselamatan anak Indonesia,” pungkasnya. (fin)

  • Bagikan